Sejak informasi tentang dibukanya penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di seluruh wilayah kabupaten/kota di DIY hingga waktu pendaftaran dimulai, masyarakat yang berminat menjadi PNS terus bertambah. Tak tanggung-tanggung ada sebagian pendaftar yang tak memenuhi kualifikasi administrai pun turut memasukkan berkas lamaran yang ditolak.
Dalam banyak diskusi, menjadi pegawai negeri sipil (PNS), adalah jabatan prestise, terlebih bagi masyarakat Jawa. Ini terkait dengan simbol-simbol kemapanan yang ditawarkan
Mulai dengan gaji tetap yang diterima setiap bulan, bahkan setiap tahun naik, serta tunjangan fungsional aupun structural yang diperoleh jika menduduki posisi/jabatan tertentu. Masih ditambah ‘mitos’ terbebas dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), layaknya pegawai swasta, meski produktifitas dan kinerja seorang PNS tak menunjukkan peningkatan. Hingga jaminan penghasilan hari tua berupa pensiun.
Jelas, bahwa dari gambaran sederhana ini PNS menjadi pilihan banyak orang. Terlebih di saat kondisi negara dalam keadaan tak menentu. Dimana ancaman PHK bagi karyawan swasta terus menghantui seiring terpuruknya perekonomian sejumlah perusahaan. Baik dalam skala besar atau kecil.
Begitu kentalnya minat masyarakat menjadi PNS merupakan simbol gagalnya pemerintah meyediakan lapangan dan jaminan kenyamanan kerja bagi warganya. Disamping sebentuk kemandulan individu dalam memupuk kreativitasnya untuk meraih masa depan.
Sikap ketergantungan ini semakin terpupuk ketika sarana dan fasilitas belajar (sekolah atau kampus) hanya mampu menghasilkan individu pem-beo. Ruang ruang kelas hanya dipenuhi dengan uraian beragam teori yang runut dan sistemik tanpa pemaknaan yang mampu memancing kreatifitas dan imajinasi pelakunya. Maka tatkala siswa atau mahasiswa keluar dari ruang kelas hanya terbengong melihat realitas kehidupan yang jauh berbeda dengan teori yang terpapar dari ruangan tadi.
Keberhasilan pendidikan hingga kini hanya diukur dari tingkat intelektualitas semata, dengan ditunjukkan pada nilai-nilai akademis tanpa pertimbangan aspek intelegensi berupa nilai solidaritas, kepekaan sosial, kebiasaan berbagi, sikap toleran dan empati pada setiap perubahan historis-sosiologis.
Maka tak heran begitu lulus sekolah/kuliah, dan memiliki nilai akademis yang memadai, menjadi lebih nyaman jika bekerja pada orang lain, menghamba pada negara atau investor.
Tak sedikit dari mereka yang terus terjebak pada pola menunggu dibukanya lowongan pekerjaan. Padahal secara intelektual kemampuan mereka bisa diandalkan. Dan sangat mampu jika menciptakan pekerjaan dengan menggunakan segala talenta yang dimiliki. Terlebih menciptakan untuk orang lain yang memiliki kemampuan terbatas. Kita pantas memberikan apresiasi orang-orang yang mampu bertumbuh dengan proses kreatif yang digelutinya. Mulai dari berwirausaha hingga penyedia jasa yang berimbrio pada kecerdasan.
Menjadi manusia yang kreatif adalah sebuah kemutlakan. Terlebih hidup di Negara ‘berkembang’ seperti
Membayangkan sebuah bangsa dengan sumber daya manusia yang mampu menciptakan peluang kerja tanpa harus menunggu uluran pemerintah (melalui formasi CPNS) adalah dambaan setiap orang.
Mencipta manusia kreatif memang tidak mudah namun juga bukan pekerjaan mustahil dilakukan. Terlebih di era informasi dan komunikasi
Tinggal komitmen dan niatan saja yang diperlukan untuk terus berpacu dengan ketergantungan dan ketertinggalan. Ilmu yang diperoleh di ruang kelas/kuliah adalah sebuah modal awal.
Selanjutnya bisa mulai ‘digelar’ dan dikembangkan dalam ranah kehidupan nyata. Jika pola ini tercipta, euforia ‘menyerbu’ formasi CPNS dapat terkurangi. Dan ketergantungan serta mental menunggu lowongan pekerjaan bagi intelektual terhindarkan. Tentu ini membutuhkan kerja sama dan sinergitas antar elemen masyarakat, lembaga swasta dan pemerintah sebagai pemrakarsa.
Irawan
Harjo 19 Nopember 2008
Komentar :
Posting Komentar