Busana bedakan masing-masing kesatuan
Kalau Indonesia memiliki tentara yang terbagi dalam 3 kesatuan yaitu darat, laut dan udara, Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki 13 kesatuan prajurit yang disebut bregada. Layaknya tentara, masing-masing kesatuan tersebut memiliki pakaian atau seragam khas yang mencirikan kesatuan dan menjadi kebanggan tiap prajurit
Menurut catatan Romo Yamto salah seorang ahli busana Jogja, ke 13 kesatuan prajurit itu adalah Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung, Patangpuluh, Wirobrojo, Jogokaryo, Nyutro, Dhaeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero, Langenastro, Surokarso dan Bugis.
Ia mengatakan masing-masing kesatuan tersebut memiliki fungsi, pakaian serta persenjataan yang berbeda. Memang selain menambah gagahh dan cirri kesatuan, seragam atau busana yang dipakai masing-masing kesatuan juga dimaksudkan untuk membuat gentar musuh.
Misalnya Kesatuan Sumoatmojo. Merupakan pasukan pengawal pribadi Sultan yang langsung berada dibawah komando Sultan. Pasukan ini terdiri dari 2 orang perwira berpangkat panji, 2 orang bintara berpangkat sersan dan 16 orang prajurit.
Pasukan ini berseragam baju zirah dengan perisai lempengan baja berbentuk bulan sabit berukuran besar, berikat pinggang besar dan kuat terbuat dari kulit kerbau, memakai tutup kepala yang disebut Udheng Gilig dan tidak memakai alas kaki. Selain itu, seluruh tubuhnya dan wajahnya dibedaki dengan boreh berwarna kuning. Dahulu jika sedang melaksanakan tugas mengawal Sultan, disepanjang jalan memperagakan tarian perang atau tayungan.
Lain lagi dengan Kesatuan Wirobrojo. Pakaian yang dikenakan oleh kesatuan ini terdiri dari Topi centhung (berbentuk seperti kepompong ) warna merah. Destar (ikat kepala) berwarna wulung (ungu). Baju dalam lengan panjang berwarna putih, beskap baju kuar, berwarna merah.
Sementara itu, lonthong (ikat pinggang dalam) berupa kain bermotif cinde dominasi warna merah, kamus (ikat pinggang luar) berwarna hitam, sayak (kain penutup dari pinggang sampai diatas lutut) berwarna putih, celana panji (celana yang mempunyai panjang sebatas lutut) berwarna merah. Kaos kaki berwarna putih, seoatu pantofel warna hitam. Karena prajurit ini berpakaian serba merah maka lebih dikenal dengan nama prajurit Lombok Abang.
“Saya sangat bangga dan merasa pervaya diri ketika mengenakan pakaian prajurit kesatuan saya,” kata sewanto salah seorang prajurit kesatuan Wirobrojo.
Memang berdasarkan bukti sejarah prajurit Ngayogyakarto Hadiningrat dibentuk pada masa pemerintahan Hamengkubuwono I sekitar abad 17 tepatnya tahun 1755 Masehi. Prajurit yang terdiri atas pasukan-pasukan infantry dan kavaleri tersebut sudah mempergunakan senjata-senjata api yang berupa bedil dan meriam.
Selama kurang lebih setengah abad pasukan Ngayogyakarto terkenal cukup kuat, ini terbukti ketika Hamengku Buwono II mengadakan perlawanan bersenjata menghadapi serbuan dari pasukan Inggris dibawah pimpinan Jendral Gillespe pada bulan Juni 1812.
Selain itu didalam Babad menceritakan bahwa perlawanan dari pihak Hamengku Buwono II nebat sekali. Namun semenjak masa Pemerintahan Hamengku Buwono III, Inggris membubarkan angkatan perang Kasultanan Jogja.
Selanjutnya dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatangani oleh Sultan Hamengku Buwono III dan Raffles, dituliskan bahwa Kesultanan Jogja tidak dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Maka sejak itu fungsi kesatuan-kesatuan bersenjata sebatas sebagai pengawal Sultan dan penjaga .Keraton.
Ketika Pemerintahan Kolonial Belanda kembali berkuasa pasukan-pasukan bersenjata yang sudah lemah tersebut makin dikurangi sehingga tidak mempunyai arti secara militer dan dilanjutkan pada tahun 1942 semua kesatuan bersenjata Keraton Jogja dibubarkan oleh pemerintahan Jepang.
Tetapi mulai tahun 1970 kegiatan para prajurit Keraton dihidupkan kembali. Dari ketiga belas prajurit yang pernah ada baru sepuluh kesatuan atau bregada yang direkontruksi dengan beberapa perubahan, baik dari pakaiannya, senjatanya maupun jumlah personel yang sering ditampilkan pada saat acara Garebeg.
Tentrem Mujiono
Harjo 21 Desember 2008
Komentar :
Posting Komentar