Ageman ugera agemaning aji (busana menggambarkan keteguhan dan harga diri pribadi) begitu Wong Jawa mengungkapkan penilaian pemikiran pandangan hidupnya (his phylosophy of life). Dan dalam lingkup komunitas keluarga besar atau trah (seketurunan), menjadi: ageman /busana merupakan busana busananing kaluwarga (pakaian menggambarkan tingkat derajat dan martabat dari keluarga besar seke¬turunan), hingga akhirnya menjadi identitas budaya dari warganing negari (warga suku bangsa atau warga negara) atau busana iku budayaning bangsa (pakaian itu menjadi ciri dari budaya bangsa); yang setara dengan: basa iku busananing bangsa (bahasa menunjukkan budaya bangsa) seperti pepatah barat language is identity of culture the nation.
Seloka-seloka yang berupa kata-kata mutiara (sabdatama) yang berjenjang dan berkesatuan makna itu merupakan ungkapan kearifan tradisional yang mampu menunjukkan identitas dan kualitas masyarakat dan bangsa pemiliknya. Kearifan tradisional merupakan salah satu unsur kebudayaan Jawa yang mam¬pu menunjukkan betapa tingginya peradaban masyarakat Jawa sebagai suatu bangsa (komunitas suku bangsa). Ungkapan yang berupa kata-kata mu¬tiara (sabdatama) itu pun menunjukkan betapa bahasa yang digunakannya itu didudukkan pada posisi yang vital (penting sekali) sebagai alat untuk menuangkan cipta-rasa-karsa yang mengungkap segala isi hati (ungkapan perasaan) dan ungkapan dari pemikirannya.
Busana/pakaian adalah benda yang lekat membungkus tubuh, merupakan hiasan utama yang menunjukkan martabat manusia beradab, yang etis, estetis, bermoral dan berakhlak, serta intelek (berakal budi). Hal itulah yang menun¬jukkan sifat dan sikap atau buah budi pekerti adiluhung (bemilai tinggi) dari pemiliknya; yakni sebagai kebutuhan pertama dalam berbudaya sosialnya, yaitu untuk melindungi dirinya dari segala hal (ancaman) yang datang dari luar dirinya, seperti cuaca alam (panas, dingin, angin, lembab), gigitan binatang kecil beracun dan pandangan bergairah (erotis) manusia lain. Busana menjadi ukuran dari kualitas etis dan estetis pemakainya. Dalam pemikiran atau sudut pandang universal disepakati bahwa pola/desain pakaian itu mengandung nilai kesopanan, keindahan, keserasian dan martabat pemakainya.
Dalam pemikiran atau sudut pandang Jawa masih ditambah dengan empan papan (sesuai dengan situasi, keadaan waktu dan tempat - siketupat) ketika pakaian itu dikenakan oleh seseorang Tanpa diikuti dengan siketupat itu, busana tidak dapat menunjukkan martabat (derajat, nilai kehormatan, ukurar moral) pemakainya. Bahkan sebaliknya justru akan menunjukkan tingkat intelektualitas (keterpelajaran, tingkat pengetahuan/keilmuan) dari pe¬makainya.
Seperangkat pakaian pria Jawa yang terdiri dari 7 jenis: blangkon, surjan, bebed, phisstagen, angkin, keris dan selop, merupakan identitas simbolis manu¬sia Jawa pada umumnya. Namun bukan berarti bahwa hanya tujuh macam benda perangkat penutup tubuh itu yang menjadi milik pria Jawa, masih banyak jenis model pakaian lainnya yang merupakan mode awal atau asli, dan mode penyempurnaan/peningkatan mode pakaian pria Jawa tersebut sesuai dengan zamannya. Dalam tulisan ini hanya akan disajikan tiga jenis saja yakni blangkon, surjan dan bebed, gaya asli Mataraman saja.
Blangkon adalah nama dari model tutup kepala yang sudah tinggal pakai, dibuat dari kain batik dengan 'motif khusus untuk tutup kepala'yang aslinya disebut dhesthar (ikat kepala -bukan dhestar). Disebut dhesthar karena memakainya harus dengan cara mengikatkan kepala secara manual (de¬ngan aturan tertentu) yaitu: pucuk ngareb ditindhes pucuk mburi njlenthar (ujung kain di bagian depan ditindas, ujung belakang bebas menjurai). Pembentukan kata baru dari asal kata atau ringkasan kata-kata itu disebut tembung garba; aturan resmi dalam paramasastra (ilmu tata bahasa Jawa bukan othak, athik, gathuk (dicari-cari kesesuaiannya biar menyambung). Dari bahan dhesthar dibuat bentuk blangko (separoh isi; separoh bentuk bundaran) sesuai ukuran kepala dengan cara lipatan dan jahitan dengan diberi pengeras di dalamnya kemudian dibentuk model tertentu. Hasil akhir dari blangko yang sudah jadi disebut blangkon. Si ahli pembuatnya disebut tukang blangko (bukan tukang blangkon, seperti kesalahan umum yang dikatakan orang awam).
Surjan adalah nama model pakaian khas Jawa, yang pola rancangannya di- ] ambil dari pola sikap tangan orang yang ] siaga menghadapi serangan lawan, yaitu ( tangan bersilang di depan dada. Garis 1 silang kedua lengan yang bertumpu itu diambil sebagai garis tepi kain belahan dada pakaian, dengan ujung atas lengan yaitu titik ujung jari tengah menjadi dua titik tempat kancing baju; dan bentuk ujung siku tangan bersilang itu sebagai ujung juntai pakaian. Hanya ada dua kancing (benik) pengikat di bagian depan atas yang runcing menjuntai diperpanjang ke bawah, hingga batas bagian depan selangkang kedua kaki. Pola pakai¬an itu melambangkan perisai pelindung dada hingga alat vital (kemaluan) seba¬gai etika dan estetika susila. Sedang bagian belakang pakaian hingga sebatas di atas pantat. Kata surjan merupakan bentuk tembung garba (gabungan dua kata atau lebih, diringkas menjadi dua suku kata saja) yaitu dari kata suraksajanma (menjadi manusia).
Jenis dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan tersebut bukan kain polos ataupun kain lurik buatan dalam negeri, tetapi kain sutera bermotif hiasan berbagai macam bunga, yang dalam bahwa Jawa disebut ontrokusuma. Surjan ontrokusuma hanya khusus seba¬gai pakaian para bangsawan Mataram, sedangkan pakaian seragam bagi aparat kerajaan hingga prajurit, surjan seragamnya menggunakan bahan kain lurik dalam negeri, dengan motif lurik (garis-garis lurus). Untuk membedakan jenjang jabatan/kedudukan pemakainya, ditandai atau dibedakan dari besar-kecilnya motif lurik, warna dasar kain lurik dan warna-warni luriknya. Semakin besar luriknya berarti semakin tinggi jabatannya; atau semakin kecil luriknya berarti semakin rendah jabatannya. Demikian pula warna dasar kain dan warna-warni luriknya akan menunjukkan pangkat (derajat/martabat) sesuai gelar kebangsawanannya.
Kesaksian akan adanya surjan ontro¬kusuma, dapat dilacak dari ceritera rak-yat yang hingga kini masih didongengkan secara turun-temurun oleh rakyat di sepanjang pantai selatan Kabupatan Cilacap (dahulu kala bernama Merden). Diceriterakan: Kala Sultan Agung mempersiapkan penyerangan ke Batavia tahun 1928, rakyat disepanjang daerah Merden (pesisir selatan) Kabupaten Banyumas, menyaksikan adanya se-orang pangeran dari Mataram yang selalu berpakaian surjan ontrokusuma, surjan bermotif hiasan berbagai macam bunga. Tidak ada yang tahu siapa nama bangsawan tersebut, maka rakyat setempat menyebutnya sebagai Pangeran Ontrokusuma. Beliau bertugas sebagai koordinator pengumpulan persediaan bahan pangan untuk logistik bagi pasukan yang akan menyerbu Batavia, ba¬han pangan itu dikirimkan ke Karawang, Cirebon. Sedang pasukan dari Kabupaten Banyumas dipimpin oleh Bupati Banyumas, Tumenggung Mertayudha.
Bebed (kain panjang untuk pria, bermotif batik) berlatar dasar warna putih. Kata bebed pun merupakan ben¬tuk tembung garba (gabungan dua kata atau lebih, diringkas menjadi dua suku kata saja), yaitu dari kata-katajarit di-ubed-ubed (kain batik dibelit-belit). Istilah awalnya adalah dari kata jarit (kain panjang motif batik). Istilah jarit ini digunakan untuk kain panjang motif batik yang digunakan wanita. Cara memakainya pun sama diubed-ubed seputar pinggang hingga mata kaki. Namun untuk membedakannya maka jarit yang dipakai untuk pria disebut bebed.
Pada tahun 1755, setelah Sultan Hamengku Buwono I naik tahta sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat, menetapkan bahwa pakaian resmi yang digu¬nakan untuk seluruh aparat keraton dan juga rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat, adalah seperti apa yang dahulu telah ditetapkan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma pada zaman Mataram Kerta (1613); yaitu:
1) blangkon mondholan;
2) surjan ontrokusuma sebagai pakaian para bangsawan Mataram,
3) surjan lurik sebagai pakaian seragam bagi aparat kerajaan hingga prajurit; dan rak¬yat.
4) bebed latar putih (kain batik berlatar dasar warna putih).
Keempat je¬nis pakaian itu menjadi ciri ash pakaian Jawa gaya Mataraman. Back to nature (kembali ke alam) atau kembali ke lokasi alam asli kerajaan Ma¬taram. Mataram I zaman Wangsa Sanjaya dan Syailendra. Mataram II (Kerta) zaman Panembahan Senapati - Sultan Agung. Dan Mataram III sejak zaman Hamengku Buwono I. Maka juga back to culture (kembali ke budaya asli) Mataram pula.
KR, 14 Desember 2008
*)Drs H Budiono Herusatoto,
Pengamat, peneliti dan penulis buku kebudayaan Jawa, Tinggal di Depok Sleman
Komentar :
Posting Komentar