Sabtu, 02 Februari 2013
Negara Membutuhkan Anak Muda Seperti Mereka
(Anak muda Jogja terus bergerak!)
Pangkal Korupsi
.
Korupsi, sepertinya sudah bukan hal yang tabu lagi bagi sebagian besar rakyat Indonesia, pun bukan dosa.
Apa sih dosa itu ?
Saya
pernah mendengar sebuah lontaran dari seseorang bahwa bila kita telah
melakukan sesuatu yang merugikan orang lain entah itu mencuri,
korupsi-kolusi-nepotisme atau apapun dan ketahuan orang lain itulah
yang dinamakan dosa. Dosa karena bakal diadili oleh orang lain baik
secara moral maupun hukum.
Jadi bukan dosa bila tidak ketahuan ...
Saya
tidak mebenarkan hal tersebut, akan tetapi dalam praktek keseharian,
saat ini hal seperti diatas rasanya sudah tak sulit untuk kita temui
pada kehidupan sehari-hari …
Ada
beberapa contoh kecil diantaranya adalah dalam jenjang sekolah/kuliah,
masih saja terjadi ajang contek, joki dan semacamnya demi memuluskan
perjalanan dari masuk, kenaikan kelas sampai pada kelulusannya
Begitu
juga dalam dunia kerja. Saat ada sebuah instansi membutuhkan tenaga
baru dan mengadakan test masuk, masih saja ada yang diutamakan entah itu
karena ada hubungan kekerabatan ataupun karena bersedia membayar
sejumlah uang, meskipun dalam test yang sebenarnya yang diterima tidak
memenuhi kriteria ataupun lolos pada tahapan seperti yang seharusnya
ditetapkan.
Satu
hal lagi sebuah tindakan korupsi (kecil-kecilan?) yang kadang tidak
disadari adalah saat ada pemilu/pemilukada. Dan ini terjadi dan
dilakukan secara bersama-sama.
Adalah
sebuah sikap dari orang-orang kampung yang mengatakan bahwa dari pada
kita ditipu oleh caleg yang kita pilih dan kita tidak mendapatkan
apa-apa, lebih baik kita minta dana untuk membeli peralatan dan
inventaris kampung kita kemudian barulah kita memilih dia …
Inilah
dilema tersulit untuk diurai, kalau memilih caleg tanpa dapat jatah,
masyarakat trauma dibohongi belaka, akan tetapi kalau memilih caleg
dengan meminta jatah terlebih dahulu, bukankah itu juga sebuah korupsi
yang dilakukan bersama-sama dan dampaknya bagi caleg tersebut juga
nantinya bila terpilih akan berusaha mencari uang “balen” ?
Sebuah
ironi besar karena selalu teriak dan menyatakan orang lain korupsi akan
tetapi yang berteriak justru pangkal dari korupsi itu sendiri … :’(
.
Berharap pada generasi muda
Lalu untuk memotong siklus mata rantai diatas bagaimanakah caranya ?
Bisakah kita berharap pada generasi muda ?
Tentu saja, harapan kita hanya tetaplah pada generasi selanjutnya, yaitu generasi muda!
Hanya
saja, untuk saat inipun untuk mencari generasi muda yang mempunyai
karakter lurus, baik dan bersih serta tidak tercemar budaya seperti
diatas sangat sulit sekali, apalagi situasi sekitar sangat tidak
mendukung; pola konsumtif yang melanda hampir sebagian orang di
Indonesia, adalah hal yang paling melemahkan karakter itu!
Lihat
saja, dijalan-jalan sangat mudah didapati anak yang dibawah umur sudah
dengan leluasanya mengendarai sepeda motor yang seharusnya belum
diperbolehkan untuk seumuran mereka. Orang tua cenderung membiarkan
bahkan merasa bangga bila anak-anak mereka sudah bisa dan “berani”
memakai kendaraan, merasa bangga karena itulah “symbol” kesejahteraan/
kekayaan mereka yang harus dipertontonkan kepada orang lain!
Banyak
hal lain yang dilakukan orang tua dan melemahkan karakter anak-anak
meraka, akan tetapi saya tidak ingin mengupasnya secara keseluruhan,
saya hanya ingin mengatakan bahwa dari antara sekian orang masih ada
beberapa orang/ anak muda yang mempunyai kepribadian kuat dan karakter
yang baik, salah satu contohnya adalah pada anak-anak muda yang akan
saya sampaikan berikut ini …
Dalam sebuah tulisan saya yang berjudul Inilah gaya hidup anak muda Jogja saat ini,
saya uraikan bahwa di Jogja ada kegiatan bersepeda di hari Jumat
terakhir pada setiap bulannya, dengan nama Jogja Last Friday Ride
(JLFR), sebuah kegiatan yang sangat positif, yang bisa mengurangi atau
menghilangkan kegiatan negatif anak muda di Jogja yang kadang bahkan
sudah ada yang terjerumus dengan obat-obatan terlarang.
Kegiatan
tersebut bukan hanya sekedar kegiatan bersepeda saja, melainkan juga
kegiatan sosial, diantaranya adalah membuat tong sampah secara swadaya
yang diletakkan di sepanjang jalan Mangkubumi; juga kegiatan membantu
para pengemudi “becak kayuh” yang keberlangsungan hidupnya semakin
tergeser oleh becak motor yang makin menjamur dan sepertinya malah akan
dilegalkan oleh pemerintah kota Jogja.
Dan
yang terakhir ini adalah kegiatan/aksi perbaikan sarana sepeda, yaitu
perbaikan beberapa ruang tunggu sepeda di Jogja yang hampir hilang
keberadaannya entah karena catnya sudah tergerus ataupun tertutup aspal
baru …
Dan
aksi (pengerjaan ruang-ruang tunggu sepeda) tersebut dilakukan karena
walikota Jogja yang pada tanggl 6 oktober 2012 pernah berjanji akan
segera memperbaikinya dengan ‘segera”, namun hingga tulisan ini saya
publish realisasi tersebut belum dilakukan, dan para pesepeda Jogja
tersebut merasakan bahwa respon walikota sangat lambat, maka mereka
memutuskan harus segera mengerjakannya sendiri, mereka punya pikiran
bahwa dengan atau tanpa peran pemerintah masyarakat tetap berdaya!
Baik itu secara material maupun moral!
Mereka menolak karena mereka masih mampu!
Dan
disaat aksi tersebut tercium media masa dan masuk dalam berita secara
berturut-turut di koran koran lokal Jogja dalam beberapa hari ini, ada
respon dari ketua DPRD Jogja yang menyatakan mendukung aksi tersebut
dengan jalan ingin menyumbangkan satu bulan gajinya sebesar 10 juta
untuk aksi tgersebut.
Disinilah letak keberdayaaan, kemandirian dan karakter kuat para penggiat sepeda dan street art tersebut
Mereka menanggapi keinginan ketua DPRD tersebut dengan cara menolak bantuan tersebut.
Dan alasannya adalah agar tidak merusak konsep kemandirian masyarakat.
Menurut
meraka kucuran dana jutaan rupiah dari legislatif tersebut justru tidak
mendidik dan hanya akan mematikan gerakan masyarakat untuk mandiri.
Juga terjadinya kekhawatiran bila sumbangan tersebut diterima, akan
merubah sudut pandang publik, seakan-akan aksi tersebut diwarnai
kepentingan politik.
Dan yang lebih dari itu adalah mereka menolak karena mereka merasa masih mampu!
.
Dalam
benak sayapun terpikir, ketika sumbangan tersebut diterima maka harus
diterimakan kepada siapa dan laporan ke publiknya bagaimana, sehingga
meskipun nantinya umpama mereka telah menggunakan dananya dengan benar,
saya yakin ada juga pikiran publik tentang kemungkinan para penerimanya
“ikut menggunakan” dana tersebut untuk pribadi.
Terus
terang saya juga berpikiran, andai orang lain sangat mungkin sekali
tergiur dan tawaran bantuan tersebut langsung diterima!
Maka, untuk sebuah sikap yang sangat tepat dan tegas ini, patut rasanya kita mengapresiasinya!
Meskipun
mereka melakukan aksi mereka dengan cara bersusah payah mengumpulkan
rupiah demi rupiah, namun mereka tetap mempunyai sebuah prinsip; bahwa
aksi teresbut adalah aksi pesepeda yang berdaya! Dan bukan hal lain
seperti , aksi perlawanan apalagi aksi cari untung seperti yang saya
tulis dalam uraian diawal!
Untuk itulah sangat wajar rasanya bila saya mengatakan bahwa anak-anak muda seperti inilah yang diperlukan Negara!
Mereka terus bergerak, tanpa harus menunggu komando!
Dan juga, tanpa harus menunggu bantuan finansial!
.
Beberapa
hal lagi yang menguatkan argumentasi saya adalah, di tengah
konsumerisme yang melanda sebagian besar masyarakat Indonesia, mereka
tetap mempunyai gaya hidup yang tidak memperlihatkan kemewahan hidup
“secara berlebihan”, secara “materi”; mereka tetap mencintai gaya hidup
sederhana, yaitu “rutin menggunakan sepeda” sebagai alat transportasi
dan penjaga kebugaran tubuh meskipun dalam keseharian mereka juga ada
yang memiliki motor/mobil yang mempunyai nominal rupiah yang tinggi.
Bagi mereka motor / mobil adalah hanya sekedar sarana yang digunakan
saat mereka membutuhkan saja, dan bukan sarana untuk “memamerkan” diri.
So ?
Terus beregarak friend!
Salut untuk para pesepeda yang mandiri dan berdaya!
Negara harusnya diisi orang-orang seperti Anda semua!
Bukan
Negara yang korup dan buta dalam memenuhi ruang publik yang sehat untuk
rakyat, bukan ruang publik yang semakin padat, macet dan semrawut!
.
Kaki Merapi, 2 Pebruari 2012
.
.
HL Kompasiana | 02 February 2013 | 11:57
http://regional.kompasiana.com/2013/02/02/negara-membutuhkan-anak-muda-seperti-mereka-530748.html
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar